Pranoto Mongso, atau dikenal dengan; aturan waktu musim / ilmu pemahaman cuaca. Biasanya digunakan oleh para petani (bercocok tanam) dan nelayan (mencari ikan). Pranoto Mongso adalah pembagian musim dalam satu tahun yang disusun berdasarkan sifat-sifat dan siklus perubahan iklim di suatu wilayah dengan menggunakan metode ‘Ilmu Titen’.
Yang dimaksud dengan Ilmu Titen adalah ilmu yang diperoleh dari pengamatan fenomena alam dalam kurun waktu lama, sehingga hasilnya cukup akurat.
mulai berkembang dan sebagian mulai berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya ibarat; Wedaring wacara mulya (binatang tanah dan pohon mulai bersuara).
KASEPULUH mulai 26 Maret, berusia 24 hari. Padi mulai menguning, mulai saatnya panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya. Penampakannya ibarat; Gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil).
DESTA mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memanen padi. Penampakannya ibarat; Sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan).
SAYA mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Petani mulai menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung, di sawah hanya tersisa dami (jerami). Penampakannya ibarat; Tirta (keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi dari sumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin).
Dari 12 urutan diatas, tentu bila dikaitkan dengan kondisi saat ini, tentu harus dicocokkan kembali secara ilmiah, baik kondisi alam, kemajuan teknologi dan sebagainya.
Ilmu Pranoto Mongso amat penting karena petani bisa menghindari musim penetasan hama dan lainnya. Begitu banyak manfaat yang bisa dipetik oleh masyarakat petani dengan memanfaatkan serta melestarikan budaya ilmu bercocok tanam dengan melakukan apa yang telah dilakukan leluhur tersebut secara turun temurun.
Kemajuan teknologi memang terjadi di berbagai bidang, termasuk di dunia pertanian. Sektor pertanian sangat menggiurkan bagi pebisnis. Sehingga kini banyak orang yang mengembangkan pertanian dengan pestisida atau bahan kimia lainnya untuk menggenjot produksi.
Apapun dilakukan tanpa mengindahkan kerusakan alam. Sungguh memprihatinkan dan kondisi ini terus berlangsung. Hutan-hutan semakin berkurang, mata air turut berkurang bahkan banyak yang kering, kualitas air juga makin buruk, alam pun semakin tidak bersahabat padahal itu karena ulah manusia itu sendiri yang telah menuai hukum alam semesta dan sebab akibat.
Karena itu, ilmu warisan leluhur itu menjadi terlupakan. Padahal sudah teruji ribuan tahun dan sangat dirasa manfaatnya, yang tidak bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja.
Pranoto Mongso juga mulai ditinggalkan beberapa tahun belakangan ini, karena keadaan cuaca dan iklim yang sangat tak menentu dan sulit sekali diprediksi.
Sungguh amat disayangkan pada apa yang telah terjadi, dampak perubahan iklim memang sedang terjadi di seluruh bagian dunia ini akibat suhu bumi meningkat, yang menjadi ancaman utama terhadap keberlangsungan kehidupan dan ekosistem di dunia ini, bukan lagi hanya di Indonesia.
Semua ini terjadi tak lepas akibat ulah para manusia itu sendiri yang tidak bertanggung jawab akan lingkungannya, penebangan hutan besar-besaran yang merupakan paru-paru dunia, yang kemudian berdampak global terhadap perubahan iklim.
Dan mari mengubah paradigma bahwa lingkungan dan alam semesta ini adalah sebagai objek dari manusia. Karena jelas pada hakikatnya; manusia, lingkungan dan alam semesta ini merupakan satu kesatuan (yang tak bisa terpisahkan atau berdiri sendiri masing – masing).
Masita Riany (Budayawan, Pegiat Lingkungan & Meditator).
Post a Comment