Headlines

Asal Usul Perhitungan 24 Jam dalam Sehari


Bangsa Mesir berhasil membagi waktu malam bergantung kepada titik terang di langit.

Generasi jam matahari berikutnya yang diciptakan Bangsa Mesir menggunakan palang, adalah perwakilan pertama dari apa yang kini kita sebut sebagai jam atau arloji. Saat itu, panjang waktu bervariasi dalam setahun. Waktu membentang lebih panjang pada musim panas, dibandingkan dengan jam yang waktunya lebih pendek pada musim dingin, berdasarkan terangnya langit.

 Tanpa cahaya tambahan, manusia pada masa ini menganggap bahwa periode terang dan gelap adalah dua hal berbeda alih-alih dihitung sebagai satu hari. Tanpa jam matahari, membagi waktu pada malam hari, yaitu waktu antara matahari tenggelam dan terbit, menjadi lebih rumit dibandingkan membagi waktu pada saat terang.

Ketika menggunakan jam matahari, Bangsa Mesir juga menggunakan 12 bintang sebagai penanda saat langit gelap, lagi-lagi mereka menghasilkan 12 pembagian waktu saat malam hari. Ketika masa-masa terang dan gelap dibagi menjadi 12 bagian, konsep 24 jam pun mulai terbentuk.

Kemudian pada masa Helenistik, saat astronom Yunani mulai menggunakan sistem untuk melakukan perhitungan untuk teori-teori yang mereka ciptakan, Hipparchus yang menghasilkan karya mulai dari 147 hingga 127 Sebelum Masehi, mengajukan usul untuk membagi hari menjadi 24 jam, bedasarkan perhitungan ekuinoks.

Hal ini didasarkan pada terbaginya 12 jam secara tepat pada siang hari dan 12 jam saat malam pada hari-hari ekuinoks. Terjadinya hari ekuinoks adalah saat matahari melintasi ekuator sehingga siang dan malam sama panjangnya. Ekuninoks ini terjadi hanya di tempat-tempat yang terletak di lintang 0 derajat.

(Titania Febrianti. Sumber: Michael A. Lombardi, Time and Frequency Division, Scientific American.)

Share this:

 
Copyright © Babad purna. Designed by OddThemes