Headlines

Candi Patunon (Amintuno): Rumah Ibadah Empat Agama

Bila selama ini kita hanya mengenal Al Aqsha di Palestina, sebagai Tempat (Rumah) Ibadah Tiga Agama. Maka di Paciran, Lamongan, Jawa Timur, justru lebih hebat lagi. Di daerah ini ada Sebuah Candi unik dari Abad ke 12 (Zaman Kadiri) yang berbahan batu andesit, telah 800 tahun digunakan sebagai rumah ibadah bagi empat agama secara berdampingan. Yaitu Agama: Jawa Purwa, Hindu, Buddha dan Islam.

Candi Patunon adalah salah satu candi yang selamat dari keganasan Deandles, yang saat ia berkuasa di Jawa, 1808-1811, melakukan penjarahan dan penghancuran puluhan candi yang berada di daerah pesisir utara Jawa (Pantura), dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan material pembangunan jalan raya pos yang dicanangkannya.

Ketika saya & Pak Viddy Daeri ke sana, baterai kamera kami habis energinya, sehingga kami tidak bisa ambil gambar2 ratusan artefak di dalamnya yang masih tersisa.

Sebuah Paduraksa [1] Garuda Wisnu Kencana, Candi Patunon, konon mengilhami Ir.Soekarno & Prof.Moh.Yamin dalam menetapkan Lambang negara baru - Indonesia pasca Rapat BPUPKI & PPKI 1945.

Paduraksa (Gapura) Garuda Wishnu Kencana

Di sinilah, dulu pada tahun 1309, selepas wafatnya Raden Wijaya, Seorang Mpu Mada (Ki Gde Sidowayah) mengajak anak angkatnya - Putra Desa Mada, dari pedalaman wilayah Pamotan Majapahit, dengan julukan Joko Modo (Jejaka dari Mada) yang kelak menjadi Mapatih Mpu (Gajah) Mada yang tersohor itu menemukan makna "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" yang sebenarnya!

Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan konsensus "Pemaksaan" bersatunya ajaran Hindu Buddha, adalah gagasan Raja Singhasari, Krtanagara, untuk mengakhiri konflik antara Umat Hindu dengan Umat Buddha yang kerap terjadi di negerinya.

Tak jauh dari Candi Patunon terdapat Candi Megalith Brumbung, yang dikelola oleh Pandhita Agama Jawa Purwa. Kedua candi ini tercatat dalam Kitab Lontar Majapahit; Tantu Panggelaran.

Dulu, sebelum dibangunnya Candi Patunon, pada era sebelum berdirinya Kahuripan Airlangga, tempat ini merupakan "rumah" ibadah Agama Jawa Purwa. Cantrik-cantrik Wanasrama Brumbung - Pacira dan jamaah melakukan kegiatan ritual mereka di sini.

Barulah pada Zaman Kadiri (Abad 12), pihak kerajaan mengambil alih dan membangun Candi Hindu Wisnu di sini. Sedangkan Orang2 Agama Jawa Purwa tetap diperbolehkan ibadah di candi ini.

Pada masa selanjutnya, lapangan pelataran candi ini digunakan sebagai tempat pembakaran mayat orang Hindu Buddha (Anunu = Membakar mayat). Dan digunakan secara bersama serta berdampingan oleh umat dari Tiga Agama, yaitu: Agama Jawa Purwa, Hindu, dan Buddha.

Konon, pada suatu masa, makhluk astral jahat (jin jahat alias demit) menyerang umat yang tengah ibadah di candi ini. Mereka kesurupan massal. Parahnya, orang2 yang kemasukan "roh jahat" ini ramai2 melompat ke jurang yang berada di sebelah barat candi. Akhibatnya, orang2 ini terluka/cidera, dan bahkan ada beberapa orang yang sampai meninggal dunia.

Kejadian Kesurupan massal terus saja berulang di komplek candi ini. Sehingga, Tetua Sendang Duwur, meminta bantuan seorang Syech dari Warga Kilalan di Leran (Keluarga Lor al Jawi) untuk mengusir makhluk2 astral yang jahat ini (demit).

Lokasi Masjid di Samping Kiri Candi Amintuno (flickr)
Setelah Sang Syekh dari baghdad itu berdoa dan di amin-kan oleh para pembantunya, maka lari terbirit-biritlah makhluk-makhluk astral tersebut, kabur meninggalkan komplek candi ini. Maka sejak saat itu, candi ini disebut juga sebagai Candi Amintuno. Dan umat Islam diperbolehkan mendirikan tempat shalat (Masigit dari batu andesit) di sebelah barat (tetangga jurang).

Dulu, sebelum memasuki komplek candi, umat dari ke 4 agama ini wajib melakukan ritual bersuci dengan air Sendang Duwur yang berada di depan candi. Dengan menuruni anak tangga ke kolam mata air di bawahnya. (Dalam kaidah Islam = wudhu).

Sampai saat ini, Candi tersebut masih dipergunakan sebagai tempat ibadah. Meski pun tidak ada lagi ritual pembakaran mayat di sini. Sayangnya, kini masjid sudah berubah menjadi bangunan yang modern. (Sufyan Al Jawi)

[1] Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan Bali, seperti kompleks keraton, makam keramat, serta pura dan puri, meskipun pada masa sekarang ada pula rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini (wikipedia).

Share this:

 
Copyright © Babad purna. Designed by OddThemes